Mengenai Saya

Foto saya
Informasi-Komunikasi dan Teknologi memfasilitasi kita untuk saling berbagi makna kehidupan. Pengelola dapat dihubungi melalui e-mail : darssetia@yahoo.co.id

Sabtu, 12 Juli 2008

IMAN


Sabtu pagi, acara rutin bersama pak Ustadz dihadiri cukup banyak warga jamaah subuh keliling Cijantung, Kalisari, Baru dan Pekayon. Topik sajian yang disampaikan pak Ustadz kali ini cukup menarik, menyangkut masalah iman.

Menurut pak Ustadz keberagamaan seseorang bisa melewati tiga cara, yang pertama melewati pikirannya (kognisi) sehingga segala sesuatu tentang ajaran agama akan dilogikakan seperti tuntutan pikiran atau kaidah metode ilmiah yang difahaminya. Yang kedua, melewati aspek pelaksanaan ragawinya (psikomotorik) sehingga lebih mementingkan bagaimana realisasi pelaksanaan ibadah secara kasat mata. Pola aktivitasnya mendahulukan perilaku kinestetik dan pertimbangan kaidahnya menjadi urusan belakang. Yang ketiga adalah melaksanakan perintah agama dengan keyakinannya (afeksi), sehingga seluruh aktivitas keberagamaannya didasari oleh nilai bathiniyah yang menghamba hanya kepada Allah semata. Tentu saja langkah ketiga ini hanya dapat dilaksanakan setelah seseorang mengetahui, mengerti dan memahami esensi dari kaidah agama yang diyakini.

Iman dari sisi etimologi-nya berakar dari kata aman, sehingga manakala seseorang benar-benar beriman kepada yang diimaninya, maka dirinya akan merasa aman (dan tenteram) . Demikian pula manakala seorang hamba Tuhan beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa, maka saat dirinya berbuat "makruf" dengan mengikuti seluruh perintah dari Allah SWT (yang dia imani), tak akan sedikitpun dirinya merasa takut kepada yang lain. Bukankah yang diimani adalah Yang Maha Kuasa untuk mengatur segalanya dengan rahman dan rahimNYA?.
Demikian pula sebaliknya, manakala diri seorang hamba akan melakukan ke"munkar"an dengan melanggar perintah Allah, maka seluruh pertimbangan akal pikirannya (kognisi)nya akan berusaha menganalisis serta mencocokkan dengan kata hati (qolbu)nya, sehingga hasil akhir yang akan dilaksanakan sebagai aktivitas psikomotor merupakan hasil pengambilan keputusan berdasar sintesis dan evaluasi ketiga (aspek kognisi, afeksi dan psikomotori) nya.

Begitu indahnya sistem pengambilan keputusan yang diberikan Allah SWT kepada kita, sehingga hambaNya dapat secara bebas (demokratis) menyusun variabel dari sub sistem yang membangun pikirannya, guna menarik kesimpulan dari setiap penelitian (pemecahan masalah) yang dihadapinya.
Hanya orang yang ber"iman" saja yang mampu melakukan seutuhnya perintah Allah dan menghindari seluruh larangan Allah (amar makruf nahi munkar). Sayang tidak banyak diantara kita yang memahami hal ini, sehingga nikmat Allah yang begitu besar (berupa iman), tidak mampu ditangkap dengan segenap kemampuan indrawinya. Ibarat seekor kambing yang hanya mampu menangkap kenikmatan sekeranjang rumput, namun tetap mengabaikan sebongkah intan berlian yang ada di samping keranjang rumput.
Allah Maha Besar, dan hanya Allah yang Maha Mengetahui tentang hambaNYA.
Namun tetap lebih baik kita selalu bermohon melalui segenap "doa", agar akhir hidup kita kelak berada dalam keadaan Chusnul Chotimah karena berpegang teguh pada keimanan. Amien.

catatan : anak bungsu saya bernama Iman Akbar, suatu doa Saya kepada Yang Maha Pengasih dan Penyayang agar kelak setelah dewasa iman anak saya kokoh,kuat dan tidak tergoyahkan oleh perubahan yang menggoda keyakinannya.

Minggu, 06 Juli 2008

TAMAN SISWA


Pada saat saya membuka lembaran Harian Kompas edisi Sabtu 5 Juli 2008, ada dua kebetulan dari peristiwa sejarah pendidikan saya yang kembali bangkit dari memori di dalam fikiran.
Pertama adalah berita Seni Pentas di dalam judul besar teropong, yang diawali dengan sepenggal Ketawang SOYUNG
Ana tangis layung-layung
Tangise wong wedi mati
Gedongana, kuncenana
Wong mati mongso wurungo

Tembang itu pernah saya terima dari pembelajaran Sastra Jawa saat saya duduk di bangku kelas IV Sekolah Rakyat Taman Muda Taman Siswa, Jalan Monginsidi Ngadisimo Kediri. Bapak Slamet (almarhum) mengajarkan tembang SOYUNG tersebut sambil membekali para siswanya dengan suatu filsafat kehidupan yang ternyata hampir setengah abad kemudian, baru saya rasakan begitu dalam esensinya.
Tembang kematian tersebut mengingatkan semua hamba Tuhan, akan takdir kehidupan yang akan sampai pada saat "datang menghadap" (marak sowan)kepada Sang Empunya kehidupan itu senfiri yaitu Allah SWT.
Dan indahnya, tembang kematian SOYUNG secara lugas mengingatkan bahwa "sang waktu"pun ternyata tunduk dan patuh pada pemilik waktu itu sendiri yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa, sehingga tidak memberikan peluang waktu sedetikpun saat Sang Malaikat Maut menjemput hamba Tuhan Yang dicintaiNya untuk datang menghadap.
Sekuat apapun seorang hamba, seberapapun kaya harta yang dimiliki, dan sengotot apapun keinginannya untuk mempertahankan "nyawa" yang terbenam di dalam dirinya, (bahkan digambarkan sebagai upaya sembunyi di dalam gedung yang dikunci rapat-rapat sekalipun) maka ketentuan Illahi tentang "ajal" tak akan pernah bergeser sedikitpun.

Pembelajaran tentang datangnya kematian tersebut sekaligus mengajarkan tentang upaya mengisi kehidupan sebagai bekal datangnya kematian.
Semangat kehidupan itulah yang menjadi slice kedua tulisan ini, untuk menanggapi berita pendidikan di harian Kompas edisi Sabtu 5 Juli 2008 tepatnya pada halaman 12, dengan judul "Perguruan TamanSiswa Terancam Runtuh".
Dari tahun ke tahun, Perguruan TamanSiswa terus mengalami kemunduran dari segi peminat dan peran. Tanpa ada upaya perbaikan dan perubahan, TamanSiswa diperkirakan akan collapse dalam lima tahun mendatang. Kini TamanSiswa tidak lagi dianggap sebagai sekolah berkualitas dan suara TamanSiswa juga sudah tidak diperhitungkan lagi oleh para penentu kebijakan pendidikan nasional.
Darmaningtyas dalam sarasehan tentang peran TamanSiswa tanggal 4 Juli 2008 di Yogyakarta mengatakan bahwa "manajemen Taman Siswa sudah tidak lagi mampu mengimbangi perkembangan sekolah negeri dan swasta lain yang terus membaik", sehingga disarankan kepada pengelola TamanSiswa untuk segera mengejar target kuantitas dulu baru kualitas.

Dalam beberapa kali pertemuan saya dengan para petinggi TamanSiswa (Majelis Luhur)seperti Ki Supriyoko, saya masih merasakan adanya getaran semangat yang luar biasa dalam gelaran mengIndonesiakan Pendidikan di tanah air, baik melalui aktivitas formal bersama program-program Depdiknas, maupun penuangan ide di dalam perwujudan produk-produk BSNP sebagai arah kebijakan mutu pendidikan kita ke depan.
Sebagai salah satu dari alumni TamanSiswa saya merasakan adanya kelahiran kembali ("re-born") nilai serta kaidah pendidikan TamanSiswa ke dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) maupun Kurikulum 2006 BSNP (yang sebenarnya adalah KBK juga). Saat proses layanan pendidikan di sekolah mengimplementasikan tiga aspek belajar (kognitif, afektif dan psikomotik) secara berimbang, maka segenap aspek kehidupan kemanusiaan peserta didik kita memperoleh sentuhan kepekaan, sehingga mampu berkembang sesuai dengan tingkat potensi bawaannya. Inilah implementasi Kurikulum Sekolah yang pernah saya terima selama belajar di Taman Indriya dan Taman Muda pada Perguruan TamanSiswa.
Di era awal tahun enampuluhan, Perguruan TamanSiswa begitu eksis menebarkan pendidikan humanisme sehingga setiap akhir semester atau kwartal saat penerimaan rapor kepada para orang tua siswa, selalu dibarengi dengan "Open-house sekolah". Dalam acara itulah para orang tua mengetahui secara persis kompetensi putra-putrinya dalam bentuk pameran karya siswa serta berbagai pentas seni (musik,tari, lukis, kriya, kerajinan tangan, dll).
Sayang peluang untuk melahirkan kembali nilai-nilai pendidikan kemanusiaan yang menjunjung tinggi esensi demokratisasi saat ini, tidak menjadi prioritas utama (bagi keluarga besar Tamansiswa) untuk ditegakkan kembali melalui penerapan kurikulum sekolah (KBK/2006BSNP). Paling tidak penerapan kurikulum di jenjang SMP saat ini perlu dikritisi, karena diinstruksikan kepada para guru untuk tidak lagi perlu memberikan fokus perhatian terhadap aktivitas dari setiap aspek afeksi dan psikomotorik (dengan cara merata-rata 3 aspek nilai) sehingga cukup satu nilai saja yang diperlukan dalam penentuan keberhasilan belajar (kenaikan kelas) . dampak kebijakan ini akan menyebabkan dominasi nilai kognitif (kecerdasan otak kiri)sebagai satu-satunya hasil belajar yang memperoleh pengakuan dari sekolah, seperti halnya aturan main di dalam kurikulum 1994. Hendaknya perlu diketahui bahwa hal ini bertentangan dengan esensi pendidikan seutuhnya dari TamaSiswa maupun Kurikulum KBK yang menempatkan setiap aspek secara berimbang, sebagai proses equilibrium dari proses pekembangan belajar itu sendiri. Pernahkah kita sadari bahwa di dalam proses sains, diperlukan sikap ilmiah (aspek sfeksi) untuk meraih esensi konsep-konsep ilmiah itu sendiri?...
Saya ternyata tidak tahu, seberapa jauh teman-teman di Majelis Luhur TamanSiswa telah merengkuh peserta didik di dalam lahan jalur pendidikan non formal, walaupun saya tahu adanya dukungan yang sangat positif dari pihak birokrasi di Depdiknas kepada Perguruan TamanSiswa terhadap masalah ini.
Kalau saja dipertanyakan kontribusi pemikiran apakah yang akan saya berikan sebagai alumni Perguruan TamanSiswa untuk memajukan almamater tercinta, maka jawaban saya justru berbeda dengan pemikiran Darmaningtyas, yang juga saya kenal dan sering temui di berbagai forum seminar pendidikan. Bukankah "perbedaan" itu diciptakan sebagai rahmat bagi kita?.
Untuk Perguruan TamanSiswa yang berada di kota-kota besar dengan potensi ekonomi memadai, hanya ada satu cara untuk menggalah akuntabilitas publik, yaitu dengan meningkatkan kualitas layanannya. Sedangkan untuk Perguruan TamanSiswa yang berada di daerah (dengan kondisi ekonomi yang sulit berkompetisi), disitulah perguruan ini harus merengkuh dengan segenap kemampuan agar tidak ada peserta didik yang tidak belajar (sekolah) hanya karena diri dan keluarganya miskin, namun layanilah mereka dengan PENDIDIKAN YANG BERKUALITAS TINGGI demi memenuhi rasa keadilan serta kemanusiaan seperti yang diajarkan oleh Ki Hadjar Dewantara.
Masalah kita sekarang adalah bagaimana menciptakan layanan pendidikan yang berkualitas tinggi dari Perguruan TamanSiswa kita?.
Saya lebih percaya hal ini dapat dilakukan bersama para alumni Perguruan Tamansiswa yang bertebaran di seantero tanah air, hanya masalahnya "adakah data alumni yang akurat?" kalau memang tidak tersedia mari kita mulai menjaring data alumni tersebut melalui gelaran nasional dengan proposal yang hebat, sehingga setiap alumni yakin dan percaya untuk membantu secara sukarela dari rupiah yang terkecil sekalipun, asalkan ikhlas!.
Hanya dengan keyakinan diri sukses, maka kita mampu meraih dan menikmati kesuksessan itu sendiri.

Hari ini Perguruan tersayang ada dipersimpangan jalan, dan tembang SOYUNG kembali dikumandangkan....namun tidak untuk hari depan TamanSiswa..(kalau kita menghendakinya), seperti firman Allah di dalam surat Al Baqarah "Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum, manakala kaum itu sendiri tidak berupaya merubah nasibnya sendiri" dan semoga Tuhan mengabulkan keinginan hambaNya untuk menghidup-hidupi Perguruan TamanSiswa. Amien.
Bangkitlah TamanSiswa-ku!

"... Sungguh alangkah hebatnya kalau tiap-tiap guru di perguruan Tamansiswa itu satu per satu adalah Rasul Kebangunan! Hanya guru yang dadanya penuh dengan jiwa kebangunan dapat 'menurunkan' Kebangunan ke dalam jiwa sang Anak" — Presiden Soekarno.

CALON ASTRONOM

CALON ASTRONOM
ICHA cucu keduaku dari anak pertamaku Lia