Mengenai Saya

Foto saya
Informasi-Komunikasi dan Teknologi memfasilitasi kita untuk saling berbagi makna kehidupan. Pengelola dapat dihubungi melalui e-mail : darssetia@yahoo.co.id

Rabu, 02 Januari 2008

BENGAWAN SOLOku

Di dalam pesawat Sriwijaya Air menuju ke Solo hari minggu 30 Desember 2007 yang lalu, pramugari nan cantik menawarkan koran Media Indonesia, dan aku nikmati mengisi perjalanan dengan membacanya. Pada halaman 16 ada suatu tulisan yang bertajuk Bengawan Solo tulisan Gugun El Guyanie,Direktur Eksekutif Institut for Social Empowerment Yogyakarta yang mengilhami dan memberi kontribusi pengaruh pada tulisan saya yang berjudul BENGAWAN SOLOku.
Siapa diantara kita yang pernah mengenal kota Solo rasanya tak mungkin dapat dipungkiri mengenal Bengawan Solo, setidaknya melalui lagunya Gesang dengan judul yang sama. Esensi syair lagunya Gesang itu berkisah tentang Bengawan Solo, dan mampu menyiratkan peran sungai lebar (dalam bahasa Jawa disebut Bengawan) yang sangat dominan terhadap seluruh aspek kehidupan ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat Jawa, terutama di sekitar aliran sungai tersebut.
Dapat dibayangkan betapa besarnya pengaruh budaya Jawa yang berpusat dari kraton Kasunanan Surokarto Hadiningrat menyebar ke segenap lapisan masyarakat bawah yang sebagian besar adalah petani, dengan ketergantungan tinggi terhadap irigasi dari Bengawan Solo. Karya monumental seni budaya Jawa mulai dari seni pedalangan Wayang Kulit maupun seni tari Wayang Orang, maupun tarian Jawa yang filosofistik dan lemah gemulai, melebar ke seni rupa sampai pada alur gerakan tangan canting-canting Batik, maupun ornamen estetis dari tarian Jawa yang melekat di dalam sisi kehidupan budaya yang sarat dengan nilai humanismenya. Titik kulminasinya terakumulasi pada reaksi masyarakat internasional yang menaruh perhatian khusus terhadap eksistensi budaya Jawa di Solo, sehingga melestarikannya melalui aktivitas akademik di berbagai studi seni pada beberapa Universitas di Eropa maupun AS bahkan juga Australia. Jepang tak mau ketinggalan membuka lembaran lama nostalgia mereka selama tiga setengah tahun berkuasa, ternyata terpesona dengan aktivitas budaya Jawa di seantero Bengawan Solo.
Pusaran pertumbuhan dan perkembangan budaya masyarakat marginal di tepian Bengawan mengalir pula pada sisi seni musiknya, selain melahirkan langgam keroncong, telah pula melahirkan kolaborasi musik gamelan Jawa dengan peralatan musikal elektrik yang dimotori oleh beberapa produsen Jepang seperti organ/keyboard Yamaha, dan hasil mutasinya adalah musik Campursari.
Akulturasi budaya barat dan timur (Jawa) ternyata telah memberi celah-celah peluang lahirnya kreativitas penciptaan dan pembawaan lagu-lagu Campursari. Trade-merk Waldjinah yang menjadi ikon Langgam Keroncong serta Didi Kempot sebagai ikon Campursari, mampu memberikan jaminan kondisi nyata tentang rasa bahagia, serta suka cita para pemeran serta dan penikmat bahkan peminat dari produk budaya adiluhung tersebut.
Namun pada hari senin, tanggal 31 Januari 2007, dalam perjalanan saya dari Kartosur0 ke Pracimantoro Wonogiri, saya terkejut bukan kepalang, bukan karena melihat bekas serta sisa-sisa kerusakan akibat banjir Bengawan Solo beberapa hari sebelumnya, akan tetapi sekaligus masih melihat beberapa luas wilayah di sekitar Bengawan Solo (Nggading kidul dan sekitarnya) yang masih terendam air luapan Bengawan Solo.
Sedih, campur haru yang terasa di hati ini, karena mereka tentu terhalang dalam berekpresi diri bernyanyi Campursari. Yang lebih menakutkan saya justru bukan itu akan tetapi, jangan-jangan dalam situasi berada di atas atap genting rumah mereka yang kebanjiran serta sambil menunggui rumah serta bagian dari kepemilikan yang tertinggal di dalam rumahnya, mereka justru terilhami untuk menciptakan suatu lagu tentang "BENGAWAN SOLOku saat banjir menyiksaku begini".
Rasanya cukup Gesang saja yang mengingatkan kita tentang arti penting kehidupan ekologis Bengawan Solo dengan syair lagunya "....air meluap sampai jauuuh....akhirnya ke...laut..."
Kalau toh muncul ciptaan lagu Campursari mudah-mudahan sebagai ekspresi saling mengingatkan diri betapa hidup ini memang harus menyatu dengan alam, seperti halnya munculnya sebuah gerak tarian yang saat saya masih kecil sering saya lihat dan masih saya ingat sampai saat ini. Tarian itu menggambarkan para gadis saat mencuci pakaian di tepi Bengawan "Solo", sambil menebar tawa canda bersama antar mereka, penuh ceria sukacita dan bahagia.
Tarian itu rupanya bagian dari kisah Joko Tarub yang sedang mengamati turunnya Bidadari yang sedang mandi (mudah-mudahan di bengawan Solo) akan tetapi lebih dari itu ide koreografi yang menterjemahkan kisah Joko Tarub tersebut juga memberikan pembelajaran kepada kita tentang alasan para Bidadari turun ke bumi, tidak lain karena alamnya yang memang indah, airnya bersih juga ekosistemnya memenuhi selera surgawi.
Patut disayangkan memang, cara-cara sang Joko Tarub di dalam meng-"Goal"-kan cita-cintanya mempersunting salah satu Bidadari dilakukan dengan cara ang tidak terpuji yaitu "mencuri selendang sang Bidadari".
Mudah-mudahan kisah budaya tersebut bukan yang mengilhami para pencuri Kayu, Pasir, Galian Tambang, serta seluruh kekayaan alam yang berakibat telah merusak ekosistem hutan/sungai/Bengawan, sehingga para Bidadari TIDAK LAGI BERSEDIA TURUN KE BUMI, bahkan juga TIDAK BERANI lagi mandi di "Bengawan Solo"ku.

Tidak ada komentar:

CALON ASTRONOM

CALON ASTRONOM
ICHA cucu keduaku dari anak pertamaku Lia