Mengenai Saya

Foto saya
Informasi-Komunikasi dan Teknologi memfasilitasi kita untuk saling berbagi makna kehidupan. Pengelola dapat dihubungi melalui e-mail : darssetia@yahoo.co.id

Minggu, 27 Januari 2008

TEMPEnya diTEMPO

Pagi ini, Sabtu 26 Januari 2007 Trans TV menyiarkan berita yang "mengejutkan tapi tidak mengherankan". Kepolisian di Surabaya berhasil menemukan hasil grebegan sebanyak 13.500 (tigabelas ribu lima ratus) Ton kedelai impor, di dalam Gudang PT "CI" yang menurut sinyalemen awal dari "informan", semestinya ada sekian kali lipat dari yang ditemukan.
Mengejutkan karena kedelai impor dengan tiga unit mesin pembersih kedelai tersebut bisa melenggang beroperasi di saat seluruh bangsa ini sedang "ngap-ngapan" mencari kedelai untuk pembuatan tahu dan tempe yang mulai melangit harganya, serta berdampak pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) karyawan di beberapa perusahaan tahu atau tempe di tanah air.
Ulah penimbun kedelai sebagai bahan pangan rakyat seperti ini, kalau di jaman "dulu" langsung dikenai tuntutan hukum yang bernama pasal "subversi ekonomi", sehingga para cukong penimbun bahan pangan tidak dapat lagi terlepas dari "pasal maut" yang mengerikan, lantaran tindakannya dapat "menyengsarakan rakyat banyak" . Kakak kandung saya yang sedang belajar di Universitas Brawijaya, ketika pulang kuliah dari dosen luar biasanya di Universitas Gadjah Mada Yogjakarta pada tahun 1977, sempat mampir ke rumah saya di Solo, dan menyampaikan kesan yang mendalam tentang perkuliahan dari dosennya begini "bangsa ini harus melindungi rakyat kecil yang jumlahnya lebih banyak dan selalu menderita oleh ulah spekulan bahan pangan, karenanya para spekulan dan penimbun pangan tersebut harus "disikat" oleh pemerintah, itulah kebijakan ekonomi (maaf kalau saya salah mendengar) wijoyonomic". Tapi itu dulu...pernah begitu,…...........dan memang Badan Urusan Logistik (Bulog), dibentuk dengan tujuan agar para petani gurem terlindungi dari "rekayasa spekulan" yang menyebabkan terjadinya lonjakkan harga kedelai, padi dan jagung, saat musim tanam tiba, dan harga anjlok serendah-rendahnya saat musim panen tiba. Dan petani gurem. petani penggarap tinggal "gigit jari", utang lagi, utang lagi, untuk membeli benih dan pupuk, sementara harga jual penennya tidak mampu melunasi seluruh hutangnya alias "tekor".
Kalau petaka seperti di atas justru terjadi di saat sekarang, maka Pak Ustads di kuliah Subuh berkata bahwa Rosul berpesan ;"kalau hari ini keadaannya lebih jelek dari hari kemarin,…maka mereka berada dalam keadaan merugi, seharusnya hari esok harus lebih baik dari hari ini, dan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin". Naah,…..saya makin terkejut, dengan ulah petani kedelai di Demak atau sekitarnya, yang membakar sendiri hasil panen kedelainya lantaran harga di pasaran yang cuma "enam ribu rupiah" per kilo, jauh di bawah dari ongkos produksinya. Jengkel dengan kenyataan ini, mereka tega membakar bahan pangan yang sedang langka di pasaran. Kejengkelan para petani dan masyarakat kecil pengkonsumsi kedelai (tahu dan tempe) memang harus segera diakhiri, tidak hanya dengan "kata-kata", akan tetapi dengan fakta dan realita, agar tetap "dapat dipercaya", dan sokur-sokur ada yang digugu dan ditiru !!
Mudah-mudahan pak Polisi kita dapat menemukan lagi gudang-gudang penimbunan bahan pangan lain, sehingga tidak keduluan oleh ulah spekulan penimbun bahan pangan, dengan cara mengalihkan ke tempat persembunyian lain. Pengalaman saya di tahun 1967-1968 saat menjadi aktivis Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI) komisariat SMA Negeri 1 Kediri, direkrut oleh pihak "yang berwenang saat itu", untuk bersama-sama mengikuti operasi penggeledahan gudang-gudang bahan pangan milik cukong spekulan/penimbun beras di kota Kediri.
Hasil penggerebegan sungguh mengecewakan saya dan teman-teman avtivis KAPPI, karena tak sebutir beras pun ditemukan di dalam gudang pangan yang besar-besar itu. Hati saya dan teman-teman KAPPI serasa ter-"iris", melihat kenyataan di masyarakat sedang tidak ada beras (kalau ada harganya sedang melambung tinggi), sementara di gudang-gudang beras para cukong juga kosong. Mungkin rencana operasi ini sudah bocor (istilah teman saya "nggak bocor lagi, tapi sudah banjir), lalu disembunyikan dimana lagi beras-beras itu?.
Inilah perang sesungguhnya, perang informasi yang realistik, seperti sehari sebelum anak saya maju ujian skripsi yang membahas tentang diplomasi publik, Saya katakan bahwa yang dimaksud "perang" tidak hanya kekuatan senjata dalam menganeksasi atau menduduki suatu negara berdaulat yang lain saja, akan tetapi diplomasi publik dapat pula diperankan sebagai alat "perang" yang handal di era global seperti sekarang.
Tak seorangpun diantara kita di Indonesia, tahu adanya kemungkinan masalah mahalnya harga kedelai, gandum (terigu) serta jagung, juga menjadi alat diplomasi publik untuk menekan bangsa ini (ingat, Uni Sovyet berantakkan antara lain gara-gara diplomasi gandum dari AS dan Kanada). Apalagi situasi saat ini kondisi dalam negeri AS sedang menghangat, mengingat salah satu calon kandidat presiden dari partai Demokrat di Amerika Serikat (AS) ada yang bernama OBAMA, dan kebetulan seorang turunan kulit hitam yang pernah tinggal di Indonesia.
Terkait dengan peristiwa 11 September 2001, diperlukan penciptaan musuh bersama AS di dunia internasional, dan terpilih kambing hitamnya bernama OSAMA bin Laden. Sungguh suatu keberuntungan bagi OBAMA, karena saat tinggal di Indonesia bersama orang tuanya, dirinya tidak pernah diajak sowan menemui Susuhunan Paku Buwono XI (raja di kasunanan Surakarta Hadiningrat), sehingga tidak memiliki peluang menerima gelar kebangsawanan Raden.
Kalau hal itu terjadi maka nama sang kandidat akan berubah menjadi OBAMA bin Raden, yang dalam penjungkir-balikkan politik bisa diplesetkan menjadi OBAMA bin Laden, karena musuh nomor satu AS sudah pula langsung diganti namanya menjadi OSAMA bin Raden.
Permainan informasi publik (baca diplomasi publik) seperti inilah yang tidak mengherankan saya, karena lemah dan rendahnya kualitas pendidikan atau pengetahuan tentang diplomasi publik itu sendiri (terutama untuk menjadi seorang diplomat sejati melalui jalur pertama duta besar atau staf duta besar yang memiliki kekebalan dan kewenangan diplomatik ) seperti yang dicontohkan oleh adanya kebijakan Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, atau di Arab Saudi?.
Kalimat penutup tulisan ini sengaja saya beri "tanda tanya", mengingat hasil akhirnya kita semua juga belum tahu bagaimana aturannya /pengaturannya /mengaturnya, kok ada kejadian yang dianggap "aneh" terhadap perlakuan anak bangsa yang menjadi tebaga Kerja Indonesia (TKI) paling tidak di dua negara tersebut. Mari kita bersabar dan bertawakal saja, alias mengikuti rasa hormat terhadap "azas praduga tak bersalah".

Tidak ada komentar:

CALON ASTRONOM

CALON ASTRONOM
ICHA cucu keduaku dari anak pertamaku Lia