Mengenai Saya

Foto saya
Informasi-Komunikasi dan Teknologi memfasilitasi kita untuk saling berbagi makna kehidupan. Pengelola dapat dihubungi melalui e-mail : darssetia@yahoo.co.id

Selasa, 22 Januari 2008

TEMPOnya TEMPE

Beberapa minggu terakhir ini, headline di berbagai media tidak hanya memunculkan berita tentang perkembangan kesehatan Pak Harto, akan tetapi makanan kesukaan saya sejak kecil yang bernama "tempe" nimbrung popularitas dengan cara menghilang dari peredaran kesehariannya di pasar rakyat atau pasar tradisional.
Para wartawan yang tidak memperoleh tugas untuk meliput situasi di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), di Cendana, di Giribangun, di nDalem Kalitan langsung tancap gas mencari "tahu" perihal tempe. (kata "tahu" dalam suasana kisruhnya tempe dapat bermakna ganda, karena temannya tempe yang ikut hilang bersamanya juga bernama "tahu", ada tahu tempe, ada tahu Sumedang, ada tahu petis, and last but not least, sebagai orang yang lahir di Kediri saya pasti mengenal tahu takwa).
Perlu disimak, bahwa hilangnya si tempe dan tahu bukanlah masalah sepele, jangan-jangan memang ada yang membolak balik gorengan tahu, walaupun kita semua bakal tahu kalau tahu yang digoreng itu kalau dibalik (agar tidak gosong), jadinya ya tetap tahu. Beda dengan (maaf) pantat, kalau dibalik apa jadinya?.
Walhasil berita TV, tiga hari terakhir ini membeberkan hasil kerja teman-teman wartawan yang sukses mencari tahu penyebab hilangnya tempe dari singgasana lapak penjajaannya di pasar-pasar, karena melonjaknya harga bahan baku tempe yaitu kedelai yang tidak lagi mengenal peri kelezatan manusia, yaitu di atas 100%.
Bulan lalu harga kedelai berkisar tiga ribu lima ratus rupiah per kilo, dan saat ini sudah berada di atas level harga tujuh ribu rupiah per kilo. Walaupun para pengusaha kecil tahu dan tempe sudah mensiasati agar produksinya jalan terus dengan cara mereduksi besarnya potongan-potongan tahu dan tempe sehingga menjadi lebih kecil dan harganya dinaikkan sedikit ke atas, namun tetap tekor alias rugi juga. Saking geramnya, sekelompok pengusaha kecil tahu dan tempe di kota Banyuwangi beramai-ramai melakukan "swiping" kepada semua kendaraan yang mencoba mengangkut dan membawa masuk produksi tahu dan tempe dari luar kota, karena dianggap tidak solider dengan harga di bawah biaya produksi nyata. "Weleh-weleh, wong tempe saja kok diobrak abrik melalui harga kedelai, gimana ini juntrungannya?", gerutu saya. Kalau ada pertanyaan kepada para importir kedelai (karena memang selama ini kita selalu mengimpor kedelai dari luar negeri), pasti jawaban klisenya muncul "karena harga kedelai di pasar internasional, terutama di Amerika Serikat memang sudah tinggi (naik)". Sama halnya dengan jawaban yang diterima para peternak gurem ayam ras, yang kelimpungan menghadapi kenaikan harga pakan, sementara harga ayam potongnya ikut turun gara-gara berita "flu burung yang tak kunjung mereda". Alasan produsen pakan ayam juga sama klasiknya yaitu "harga pakan ayam naik karena harga jagung (sebagai bahan baku utama pakan) di luar negeri terutama di Amerika Serikat, juga naik, sehingga kami juga ikut menaikkan harga pakan ayam untuk para peternak ayam kelas gurem". Catatan Departemen Pertanian menyangkut kebutuhan kedelai kita per tahun, sekitar 2.000.000 ton per tahun, sedang produksi kedelai dalam negeri kita maksimum hanya 900 ton per tahun. Di Negara-negara sub tropis tingkat produktivitas panen kedelai per hektar bisa mencapai 4 ton, sementara petani kita hanya mampu menghasilkan panenan 1,3 ton per hektar, sehingga kran impor masih terus menganga. Sementara impor kedelai dari Amerika Serikat juga perlu diwaspadai, karena produk agro mereka menggunakan teknologi "Genetic Engineering" dengan manipulasi faktor basa Nitrogen di dalam rangkaian Asam Deoxyribo Nucleat beserta derivatnya, yang tidak lagi bersifat alamiah, belum lagi faktor kimiawi yang berperan sebagai pemompa proses pertumbuhan. Kalau kita jujur sebagai orang yang berpikir jernih, menentang hukum alam (sunatullah) telah dicatat peristiwanya oleh sejarah perdaban kehidupan, ternyata jauh lebih banyak kegagalannya dibanding manfaat yang bisa diperolehnya. Mendaruratkan diri dengan sengaja tentulah bukan suatu "kebijakan yang bijaksana" akan tetapi "kebijakan yang cuma bijak disini atau disitu" ("bijaksini dan bijaksitu") tergantung siapa yang mau disenangkan.
Masalah tempe bukan lagi sesederhana seperti di masa lalu, karena sudah menyangkut masalah harga di pasar internasional sehingga sudah menjadi komoditas global.
Saya jadi ingat soal hak patent tempe itu sendiri yang memang sudah didaftarkan oleh Jepang di Kantor Patent New York AS. Saatnya tiba kelak (mungkin sesuai kesepakatan di dalam WTO yang sudah kita ratifikasi), walaupun soal bahan baku kedelai suatu saat tersedia dengan melimpah, (jangan-jangan) saya juga tidak semudah dulu lagi makan tempe, karena harus membayar "fee" terlebih dahulu kepada pemegang patent tempe.
Sekarang, memang TEMPO-nya TEMPE untuk ikut berlaga mencari perhatian publik, atau memang sang tempe kembali dijadikan komoditas politik oleh sekelompok orang tertentu agar kiblat media tidak fokus disatu arah yaitu RSPP. He..he..saya tidak bermaksud mengingat-ingat ada tidaknya hubungan TEMPO dan TEMPE, karena enaknya tempe walaupun tanpa promosi wisata kuliner, TEMPO KAPAN SAJA TEMPE TETAP ENAK DIMAKAN DAN PERLU, jadi tempe tetaplah "uueenaaak tenaaan…dan ..mak nyuuus’ walaupun TEMPO-TEMPO harganya mahal seperti saat sekarang.
Lho kenapa tempe dan tahu yang jadi sasaran?, Apakah tidak dipikir panjang bahwa kelangkaan kedelai akan menyebabkan sekian banyak Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi para kuli dan pekerja kelas bawah di pabrik/ home industri tempe dan tahu itu sendiri?. Tidak saja Bung Karno yang marah dengan semangat patriotisme bangsanya, sehingga berpesan "jangan jadi bangsa tempe", akan tetapi kita dulu juga marah, diledek sporter kesebelasan Singapor dengan kalimat "gara-gara terlalu banyak makan tempe sehingga kesebelasan PSSI "Garuda" yang dimotori Iswadi Idris dan kawan-kawan pulang ke tanah air, tidak membawa piala kejuaraan.
Inilah nasibnya tempe, sebagai makanan (yang dianggap) kecil dan sepele karena dikonsumsi oleh masyarakat bawah dan berimplikasi hanya pada rakyat miskin. Akan tetapi hendaklah selalu diingat bahwa masalah-masalah besar yang menimpa semua bangsa di dunia, berasal dari akumulasi masalah masalah (yang dianggap) sepele sebelumnya.
Buktinya para pekerja yang terkena dan terancam PHK serta para pengusaha gurem dari industri tempe sudah hilang kesabarannya dan berdemo di depan Istana Negara. Mereka yang berdemo adalah pemakan tempe, dan pasti rakyat kecil yang tidak atau belum mampu membeli lauk selain tempe (karena memang dulu harganya murah).
Mari kita bersama-sama waspada,…….karena Maslow telah mengingatkan kita, bahwa urusan perut bagi si miskin, memang nomor satu!.
Mudah-mudahan penerima amanah untuk urusan perdagangan tempe di negeri ini segera dapat mengakhiri krisis kedelai di tanah air, dan tidak sekedar mensosialisasikan pemberian bibit unggul kedelai sebanyak 8000 ton bagi petani penggarap di 30 provinsi, sehingga bisa memenuhi lahan palawija kedelai seluas hampir 200 hektar areal tanah pertanian, tapi setelah harga kedelai di pasaran tak lagi mampu dikendalikan. Dan kita menungu dan menunggu lagi petaka pangan (terigu, minyak goreng curah dan apalagi membabibuta harganya di pasaran), kemudian si miskin menjeriiit,....baru muncul "kebijakan". Dan muncul alasan klasik lagi, kenaikan harga pangan kita naik ini gara-gara harga pangan dari Amerika Serikat juga naik??.
Belum lagi fenomena yang terjadi dan kita semua tahu, akan tetapi ada yang pura-pura tidak tahu, ada yang lari agar tidak terseret untuk dinyatakan tahu, dan adapula yang memang tahu akan tetapi tidak mampu berbuat apapun untuk menindaklanjuti sesuai dengan kapasitasnya sebagai bagian dari bangsa merdeka!. Ibarat banjir sudah menghabiskan seluruh harta masyarakat yang tertimpa, baru kita sadari bahwa fungsi Polisi Kehutanan kita, memang mandul (tak terlindungi secara hukum secara memadai) karena saat menemukan area pembalakan besar-besaran di tengah hutan, mereka justru ketakutan.
"Statemen terbuka" dari pimpinan negara yang mengatakan pemberlakuan Bebas Bea Masuk Impor kedelai dari luar negeri, walaupun diragukan memiliki pengaruh terhadap penurunan harga kedelai dalam waktu dekat, hendaknya BENAR-BENAR DAPAT DILAKSANAKAN DI LAPANGAN, sehingga jangan sampai berdampak negatif pada KEBERSAMAAN yang sedang dibangun dan mulai menampakkan wujudnya.
"Sebaiknya" (kalau saya tidak diijinkan menggunakan kata "semestinya") para petani kedelai memperoleh jaminan, bahwa pada tiga atau empat bulan mendatang, saat musim panen kedelai secara nasional tiba, maka harga kedelai di pasaran dapat relatif stabil, sehingga petani gurem dapat menikmati hasilnya secara wajar.
Memang, sekarang TEMPO-nya TEMPE meminta perhatian.

Jakarta, pertengahan bulan Januari 2007
Darsana Setiawan,
e-mail darssetia@yahoo.co.id
Weblog : http://omson.blogspot.com/
atau http://edukasipress.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

CALON ASTRONOM

CALON ASTRONOM
ICHA cucu keduaku dari anak pertamaku Lia